Dari Insecure sampai Bersyukur: Sebuah Perjalanan Self-Love

Dari kecil sampai umurku menuju seperempat abad ini, aku sering banget dengar frasa love yourself, accept yourself, believe yourself bahkan sekarang sangat familiar dengan gerakan self-love. Memangnya apa sih maksudnya? Menyukai diri sendiri apapun bentuknya? Merasa cukup dengan semua hal dalam diri? Percaya bahwa diri sendiri mampu melakukan berbagai hal meskipun banyak kekurangan? Mari kita akui bahwa sulit sekali mengimplementasi kalimat-kalimat tersebut ke dalam kehidupan kita.


Cerita ini adalah sudut pandangku, perjalanan satu persatu pertanyaanku tentang mencintai diri sendiri terjawab dengan rentetan peristiwa yang tidak mudah kulalui sama sekali. 


Namun, sebelum sampai pada turning-point itu, aku pernah ada di titik tertinggi insecure. Selalu tidak pernah merasa cukup dengan diri sendiri. Selalu membandingkan kehidupanku dengan orang lain. Merasa tidak cukup cantik, tidak cukup pintar, tidak cukup berbakat, tidak cukup menyenangkan untuk disukai orang. Perasaan tersebut menggumpal begitu besar sampai aku mendorong banyak orang menjauh karenanya. Aku tidak menyalahkan mereka yang pergi. Aku belakangan menyadari, bagaimana aku bisa mencintai orang lain dan berharap mereka tetap tinggal kalau aku saja tidak tahu bagaimana mencintai diriku sendiri?



Kepergian orang-orang tersebut menamparku sedemikian keras. Ada masa-masa mataku sebesar bola bekel di pagi hari karena menangis semalaman. Ada masa-masa aku tidak mampu bangun dari tempat tidur karena kesedihan mengikatku di keempat sisi tiang ranjang. Ada masa-masa aku tidur 14 jam sehari karena tidak mau bangun menghadapi kenyataan bahwa semua orang meninggalkanku, yang juga semakin mengkonfirmasi aku memang tidak pernah cukup untuk semua orang. 


Sejatuh-jatuhnya aku, semesta mana peduli dan mana mau tau. Ia tetap berputar tanpa ampun. Berlari cepat meninggalkanku yang tersungkur di tanah. Semesta pula yang memaksaku pelan-pelan merangkak bangkit. Aku menyadari tidak akan ada siapapun atau apapun yang akan menghentikan waktu, sebentaaar saja, menunggu sampai aku sembuh. Atau tidak akan ada seseorang yang tiba-tiba memberiku obat penawar yang dalam sekejap bisa mengurangi perih lukanya. Tidak akan pernah ada. Maka, aku pelan-pelan berdiri, pelan-pelan memaksa kakiku melangkah, pelan-pelan beraktifitas seperti aku tidak pernah hidup hanya makan-tidur-menangis berhari-hari. Dari situ aku mulai banyak membaca buku dan artikel, mendengarkan podcast, serta menonton banyak video bertema self-help, termasuk artikel dan video dari Satu Persen. Inilah caraku menolong diriku sendiri. Kalau bukan aku, siapa lagi? Ini juga yang kusebut pelajaran pertamaku menuju self-love; to be able to pour myself knowledge of how to survive from grief is a form of self-love. 



Pikiranku dipenuhi teori-teori cara menghilangkan inferioritas dan insekuritas, menghadapi kesepian, mengatasi overthinking, mengalahkan kesedihan, dll. Memahami berbagai macam prinsip dasar mencintai diri sendiri adalah satu hal, namun mengimplementasi dalam kehidupan sehari-hari adalah hal lain. Aku masih kesulitan berdamai dengan diri sendiri dan perasaan sakit peristiwa masa lalu. Untungnya karena bertekad menyibukan diri dengan kegiatan kampus, bergabung dengan berbagai kegiatan relawan, bekerja paruh waktu, dan juga bertepatan dengan pengumuman beasiswaku diterima kampus, aku ramai diliputi urusan. Cara keduaku mencintai diri sendiri; mengisi diriku dengan kegiatan positif sampai aku berhasil membangun persepsi baru tentang diri sendiri. To walk miles from one volunteer event to another volunteer event, to put my heart in every work I do, to fill my soul with goals, to make myself feel valued, are my ways to love myself.



Aku berlari mengejar semesta. 3 tahun lebih kuhabiskan berjuang untuk membangun diriku. Aku punya persepsi baru tentang diri sendiri, aku mulai bisa mengartikulasi berbagai macam perasaanku dan tau bagaimana mengatasinya, aku mulai fokus dan menikmati menjadi diri sendiri. I surprisingly vibe quite well with myself.


Namun, perjalananku tidak berhenti sampai di situ. Di satu waktu, aku lagi-lagi tersungkur. Sepotong foto di sosial media dari orang masa lalu membuatku mempertanyakan perjuanganku. Kenapa satu potong foto saja masih berpengaruh untukku setelah bertahun-tahun? Kenapa aku masih merasakan sesuatu tentang masa lalu itu? Aku merasa tertinggal. Aku merasa di situ-situ saja, tidak maju, tidak berprogres, tidak berpindah. Everything that I did to heal myself is pointless. I went through so much, I swam the ocean and climbed the mountain only to find myself straight back down again. 


Tunggu. Tunggu.


What was that?


How dare you say you’re not progressing??!! *my inner soul shouting at me*


Iya, sekarang ada yang meneriakiku seperti itu. Asalnya dari dalam jiwa. Ternyata perjuangan 3 tahun lebih itu juga membangun fondasi inner-self ku, orang yang menjadi garda paling depan ketika aku jatuh. Orang yang menunggu dan memberiku ruang serta waktu ketika aku merasa sedih, marah, kecewa, dll. Orang yang selalu mengulurkan tangan seberapa sering pun aku luruh. Orang yang menghargai setiap progres yang aku buat, entah itu sesederhana progres belajar memasak sampai progres menerima masa lalu.


Mengatakan diriku tidak berprogres dan tidak maju hanya karena sebuah foto merupakan kezaliman terhadap diri sendiri. Kenyataannya aku melakukan dan melalui banyak hal beberapa tahun belakangan ini, serta yang paling penting, aku survive. Luka lampau itu cukup dalam, sepotong foto bisa menarikku ke masa lalu dan mengingat semua lukanya. Si inner-self berkali-kali bilang gapapa, it’s okay, meyakinkanku bahwa aku hanya terhisap sementara because the photo carried so much wounds. Aku tidak tertinggal di belakang. Aku berprogres. Ini kuanggap satu tayangan masa lalu yang terjadi di luar kontrol diriku. Aku tidak bisa mengontrol apa yang orang unggah di media sosial, tetapi aku bisa mengontrol respon diriku terhadapnya. Maka, aku memutuskan untuk mengizinkan diriku bersedih seperlunya dan menganggap itu hanya angin lalu.



Dari situ aku menyadari bahwa mencintai diri sendiri ternyata adalah proses berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang mengisi dan membangun diriku sampai aku merasa good enough setidaknya untuk diri sendiri, bukan hanya tentang mengakui kekurangan dan menerima kalau aku memang tidak akan pernah cukup untuk semua orang, namun mencintai diri sendiri juga tentang menghargai setiap progres yang kubuat dan menghargai diriku simply just by being alive and surviving


#SatuPersenBlogCompetition


Komentar

Postingan populer dari blog ini

You and Me VS The World, No More.

From Page to Screen: Comparison of A Novel entitled The Notebook with Its Film Adaptation